POTENSI
POLITIK ORMAS
DALAM
SISTEM KEPOLITIKAN INDONESIA MODERN
(Kasus
Persis dan Pemuda Persis)
Tiar
Anwar Bachtiar
(Penulis
Buku Persis dan Politik; Ketua Umum PP Pemuda Persis)
Politik
adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun bukan
satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan
manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi
karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak
secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar
sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal
seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan
berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu
fenomena a constrained use of social power (penggunaan kekuasaan sosial
secara paksa)[1].
Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana, bahkan dalam diri setiap orang.
Ketika kekuasaan itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling
desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh
menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai
orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai
diperbincangkan.
Hal
ini pula yang dialami di lingkungan Persatuan Islam (Persis). Masalah politik
selalu menjadi perbicangan “seru”, bahkan dapat sampai menimbulkan dampak besar
ke dalam bidang-bidang yang lain. Puncak perbincangan politik paling seru di
lingkungan Persis akan terjadi saat ada momen-momen politik besar seperti
pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden, atau pemilihan anggota
legislatif. Ada yang pro dengan keterlibatan Persis dalam hajat berkala itu.
Ada pula yang menolak dengan tegas dengan berbagai alasan. Pro-kontra ini
seringkali terbawa sampai ke arena Muktamar hingga menghasilkan
keputusan-keputusan khusus berkait dengan masalah-masalah politik ini.
Di
Pemuda Persis, sejak Muktamar 2000 di Jakarta hingga Muktamar 2010 di
Tasikmalaya masalah politik tidak urung menjadi perbincangan ramai. Bahkan, di
beberapa tempat menyebabkan sebagian anggota Pemuda Persis memilih mengundurkan
diri dari keanggotaan karena menganggap Pemuda Persis tidak akomodatif secara
politik. Salah satu pasalnya adalah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemuda
Persis sejak Muktamar 2005 di Jakarta dan Muktamar 2010 di Tasikmalaya yang “mengharamkan”
anggota Pemuda Persis rangkap keanggotaan dengan partai politik. Kebijakan ini
secara otomatis menutup kesempatan kepada anggota Pemuda Persis untuk menjadi
anggota Parpol dan mencalonkan diri menjadi calon politisi dari parpol.
Setiap keputusan yang merupakan “produk
ijtihad” tentu saja ada manfaat dan madharatnya, sekalipun akhirnya dalam
perhitungan Pemuda Persis, manfaat dengan ditutupnya kran rangkap anggota bagi
Pemuda Persis dengan parpol dianggap lebih besar daripada madharatnya. Walaupun
begitu, dengan kebijakan ini bukan berarti Pemuda Persis ingin mengisolasi diri
dari politik dan menjauh dari segala hal-ihwal berkait dnegan politik. Justru
langkah ini diambil sebagai suatu “langkah politik” juga untuk mencapai tujuan
yang lebih besar melalui jam’iyyah Pemuda Persis.
Tulisan
berikut adalah semacam penjelasan mengapa Pemuda Persis mengambil langkah
menutup kran politik-parpol bagi para anggotanya dan idealisme politik apa yang
ingin dicapai dengan langkah politik ini. Sangat mungkin tulisan ini tidak
mewakili semua anggota Pemuda Persis, namun paling tidak tulisan ini diharapkan
dapat menjawab kegelisahan dan cemoohan sebagian pihak atas kebijakan Pemuda
Persis ini.
Esensi dan Idealisme Kekuasaan
dalam Politik Islam
Kalau
ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam,
jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis.
Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam (himâyah
al-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahteraan umat (ri’âsah
syu’ûn al-ummah).[2]
Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme
pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi;
juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya
dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan
“rakyat”.
Oleh
sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang
kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat
yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan
kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan
oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki
derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah Swt., “Adilnya
seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh
puluh tahun.”[3]
Tentu
saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat
berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah
Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak
mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri
nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan
siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk
memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada
rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda
Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).
Ini
menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa sangat
mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik
dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan
rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk
kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untuk
kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini.
Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan akadnya sebagai
politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan
amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti
pahalanya.
Pentingnya
posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kerasulan. Ketaatan
kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberikan
setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekalipun
ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan ketaatan pada
Allah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang posisi ulil-amri
ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki
kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam—sebagai
agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidak
sesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil.
Selain
memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa
memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah. Dalam sebuah
hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dari
Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di hutan
dia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti
binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa,
dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud “terkena
fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan
sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan
penguasa.”[4]
Berdekat-dekatan
dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya
agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara psikologis memang
membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya sehingga tidak sedikit
yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan kehilangan posisi dan
kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit kejiwaan yang sering disebut
post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental
baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka
terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan
untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang
kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai
suatu medan yang high risk high value.
Kekuasaan dalam Sistem
Politik Indonesia Modern
Sistem
politik Indonesia pasca-kolonialisme mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Bahkan sejak kemerdekaan hingga saat ini telah terjadi perubahan-perubahan
penting yang menyebabkan konstelasi sistemik politik Indonesia terus berubah. Bahkan,
setelah lepas reformasi terjadi pula perubahan konstelasi politik yang penting
untuk dicermati. Inilah yang akan kita potret pada bagian ini. Ini menjadi
penting mengingat konteks politik yang tengah di hadapi di Indonesia adalah apa
yang saat ini tengah dihadapi.
Secara
teori, politik adalah segala hal yang berkenaan dengan kekuasaan. Pusat
kekuasaan di suatu komunitas adalah negara. Oleh sebab itu, ketika politik
disebut secara tersendiri, maka yang dimaksud adalah segala hal yang berkenaan
dengan kekuasaan negara dan derivatnya. Kekuasaan yang hidup secara sosiologis
dalam diri setiap orang bukan yang dimaksud dengan istilah tersebut, sekalipun
kekuasaan jenis ini menjadi sumber utama hadirnya kekuasaan negara yang
efektif.
Dalam
konteks politik-kenegaraan, sejatinya negara adalah pemegang kedaulatan
(kekuasaan) tertinggi. Representasinya adalah “kepala negara”. Di masa lalu,
ketika kekuasaan belum dibagi-bagi, satu-satunya pemegang kekuasaan adalah
“kepala negara” yang sering disebut khalifah, raja, sultan, atau istilah-istilah
sejenisnya. Ulil-amri yang disebut dalam Al-Quran adalah mereka. Saat
diperkenalkan dan dipraktikkan trias-politika di Eropa, mulailah kekuasaan
dibagi-bagi. Ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan ada pula
kekuasaan yudikatif. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi pemusatan kekuasaan
yang mungkin akan menimbulkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Sekalipun, dalam praktiknya, division of power semacam ini tidak selalu
berdampak baik terhadap efektivitas penggunaan kekuasaan untuk mencapai
tujuan-tujuan politik, apalagi dikaitkan dengan pencapaian tujuan politik
Islam. Bisa jadi pembagian kekuasaan justru membuka pintu masuknya pengaruh
atas satu bagian kekuasaan yang akan merusak tujuan politik Islam.
Indonesia
pernah mengalami fase dipimpim oleh para raja yang berkuasa secara tunggal,
dikuasai asing (baca: Belanda) yang kekuasaannya pun absolut namun
menyengsarakan, dan terakhir setelah kemerdekaan Indonesia belajar untuk
memerintah sendiri dengan pola division of power. Indonesia menganut
trias politika model Montesque. Kekuasaan tertinggi di atas kertas dipegang
oleh kepala negara (presiden). Sampai tahun 1967, kekuasaan ini dibagikan
kepada tiga pemegang kekuasaan yang berbeda. Ada penguasa legislatif (MPR/DPR)
yang dipilih melalui pemilihan umum; ada penguasa eksekutif yang dipimpin oleh
perdana menteri yang bertanggung-jawab kepada parlemen (dan presiden); ada
kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang mandiri. Sistem ini disebut sistem
parlementer.
Memasuki
era Orde Baru, kekuasaan berubah menjadi presidensial. Kali ini presiden,
selain bertindak sebagai kepala negara, juga menjalankan peran sebagai kepala
eksekutif (pemerintahan). Dalam sistem ini selama Orde Baru, eksekutif dengan
posisinya demikian menjadi sangat powerfull dibandingkan pemegang
kekuasaan rekannya, yaitu DPR dan kehakiman. Kepala eksekutif inheren di
dalamnya sebagai kepala negara sehingga posisinya menjadi sangat penting dan
menentukan. Semasa Suharto berkuasa sepanjang Orde Baru, kekuasaannya dianggap
“otoriter” hingga perlu dikoreksi.
Kritik
terhadap Orde Baru inilah yang akhirnya melahirkan Reformasi. Secara politik,
gerakan Reformasi berhasil merombak pola pembagian kekuasaan yang dianggap
otoriter semasa Suharto. Kekuasaan presiden dipangkas. Sekalipun masih tetap
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, namun kekuasaannya untuk
mengeksekusi program-program harus disetujui oleh DPR. Bila sebelumnya DPR
tidak banyak memiliki kekuasaan, justru sejak Reformasi bergulir DPR memiliki
tambahan kewenangan yang membuatnya bisa lebih berkuasa daripada sebelumnya.
Bahkan, dalam hal-hal tertentu DPR bisa lebih berkuasa dari kepala negara
(presiden).
Model
kenegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan (division of power) seperti
ini diyakini merupakan alternatif terbaik untuk menampung hak-hak politik dari
warga negara. Seiring dengan diratifikasinya Bill of Right, kebebasan
bersuara dan berpendapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
pengambilan kebijakan politik-kenegaraan selepas Reformasi. Otoritarianisme dianggap
sebagai musuh yang harus dienyahkan karena bertentangan dengan prinsip
kebebasan individu ini. Kekuasaan yang lebih besar diberikan kepada DPR pun
tidak terlepas dari keinginan untuk memberikan ruang aspirasi bagi rakyat yang
secara individual memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya. Sebab
secara ideal, DPR merupakan institusi yang memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan
aspirasi rakyat.
Kekuasaan
yang telah terbagi-bagi inilah yang kemudian menjadi lahan pertarungan politik
baru di Indonesia pasca-Reformasi. Stage baru ini tentu saja melahirkan tindakan-tindakan
politik baru yang sebelumnya tidak terjadi. Salah satunya adalah politik biaya
tinggi (politic with the high cost). Jangankan pada masa kerajaan-kerajaan
masih ada, di zaman Orde Baru pun fenomena ini tidak pernah muncul. Menjadi
politisi di zaman itu, sekalipun tetap harus ada biaya politik yang dikeluarkan,
namun dalam ukuran yang wajar. Umumnya, setiap calon pejabat politik dapat
merogoh kocek miliknya sendiri untuk membiayai ongkos politik yang dibutuhkan tanpa
harus melibatkan para pemilik modal (kapitalis).
Pada masa Orde Baru, sekalipun para pemilik
modal tetap ingin mendapatkan akses terhadap kekuasaan, mereka cenderung tetap
loyal pada penguasa. Bila penguasa bervisi baik, para pemilik modal tidak dapat
berkolusi dengan penguasa. Akan tetapi, hasrat bermewah-mewah para penguasa
tidak dapat dikendalikan, barulah para pemilik modal ini dapat menggunakan the
powers of money yang dimilikinya untuk meraih keuntungan dari kekuasaan. Saat
itu, para pemilik modal ini lebih senang untuk berada di balik layar. Mereka
yang duduk di kursi kekuasaan adalah para teknokrat dan orang-orang pintar yang
memiliki kapabilitas untuk mengelola negara. Pada zaman ini tidak mengherankan
bila mereka yang bersekolah tinggi dan berprestasi secara akademik memiliki
kesempatan lebih luas untuk diakses dalam lingkaran kekuasaan.
Reformasi
telah mengubah semua itu. Politik biaya tinggi dan keterbukaan politik yang hampir
tanpa batas telah menyebabkan politik hanya ramah bagi mereka yang memiliki
modal. Mereka yang tidak bermodal besar, sekalipun memiliki segudang prestasi
jangan terlalu bermimpi bisa berada di lingkaran kekuasaan. Ada satu dua yang
memiliki modal sosial tinggi, tanpa modal uang banyak, dapat masuk dalam
jejaring kekuasaan; akan tetapi jumlahnya amat sedikit. Di antara mereka adalah
para artis, kiai, dan selebritis lainnya. Itupun umumnya mereka kurang memiliki
kecakapan baik dalam mengelola kekuasaan yang dimilikinya karena
latar-belakangnya yang bukan politisi. Alhasil, keberadaannya dalam lingkaran
kekuasaan tidak memberi efek besar.
Mereka
yang berani maju dalam pertarungan politik dan berpotensi besar memenangkannya
adalah “yang punya modal” atau “yang dimodali”. Mereka yang memiliki modal
untuk maju sangat mulia apabila ia mempertaruhkan semua modalnya untuk
kesejahteraan rakyat. Namun, pada kenyataannya yang dilakukan sama seperti
perlakuannya terhadap modal untuk bisnisnya. Uang yang dikeluarkannya harus
kembali dalam jumlah yang lebih banyak sehingga kekuasaan yang diraihnya hanya
dijadikan kuda tunggangan untuk semakin memuluskan jalannya menumpuk
pundi-pundi uang. Sementara mereka “yang dimodali” orang lain berpotensi hanya
menjadi wayang. Dia diusung ke atas kursi kekuasaan hanya untuk memberi stempel
kepentingan-kepentingan sang pemilik modal.
Dalam
situasi politik seperti ini, sama sekali tidak ada istilah “daulat rakyat”;
yang ada hanyalah “daulat uang” dan “daulat pemilik modal”. Ini terlihat dari
semakin lemahnya posisi negara terhadap para pemodal. Negara cenderung tidak
bisa mencegah tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan para pemilik modal
seperti mengeruk tambang, menggunduli hutan, memangkas anggaran proyek, dan
sebagainya. Padahal, jelas-jelas yang dirugikan dari semua proses seperti itu
adalah rakyat. Negara tidak lagi sendirian memegang kendali kekuasaan.
Kekuasaan telah menjadi lahan “arisan” yang dipegang sahamnya oleh banyak pihak
yang bahkan sama sekali tidak kaitannya secara struktural dan institusional
dengan penguasa formal. Oleh sebab itu, boleh juga dikatakan bahwa dalam sistem
politik Indonesia saat ini ada satu lagi “pembagi” kekuasaan yang tidak kasat
mata di negeri ini, yaitu pemilik modal (kaum kapitalis).
NGO Sebagai Fourth Power
Pertanyaan
berikutnya yang cukup penting, terutama dalam konteks gerakan organisasi masa
(ormas) seperti Persis adalah di mana peran organisasi-organisasi
non-pemerintah ini? Berikut penjelasan mengenai masalah ini secara singkat.
Terdapat
fenomena baru yang unik dalam institusi negara modern berkait dengan pembagian
kekuasaan (division of power). Rupanya pemegang kekuasaan bukan hanya mereka
yang memegang jabatan-jabatan politik (political society). Dalam model
demokrasi modern masyarakat dimungkinkan membentuk kelompok-kelompok
kepentingan untuk menyuarakan aspirasi dan harus diakui serta diberi legitimasi
oleh negara. Kelompok-kelompok kepentingan ini pun boleh mengorganisasi diri
sebagaimana halnya organisasi negara.[5]
Kelompok-kelompok inilah yang disebut sebagai non-government organization (NGO)
atau dikenal pula dengan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).[6]
Arbi
Sanit menyebut organisasi semacam ini sebagai salah satu wujud swadaya
kepolitikan masyarakat yang mungkin tidak tertampung aspirasinya oleh kekuatan
politik yang resmi berada di wilayah political society seperti
pemerintrah dan partai politik. Melalui NGO-NGO yang didirikan
oleh masyarakat ini, masyarakat dimungkinkan memiliki kekuatan politik yang harus
diakui oleh negara. Kekuatan inilah yang disebut sebagai civil power dari
kelompok sipil (civil society).[7]
Organisasi
masa seperti Persatuan Islam (Persis) adalah bagian dari civil society dalam
sistem politik modern yang dianut Indonesia saat ini. Keberadaannya diakui oleh
negara sebagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan ini sebagaimana NGO
lainnya diperkenankan memiliki aspirasi politik dan menyuarakannya, langsung
ataupun tidak. Bedanya kekuatan kelompok NGO ini dibandingkan dengan aparat
politik adalah tidak memiliki kewenangan mengeksekusi langsung aspirasi
politiknya dengan alat-alat yang dimiliki oleh negara. Akan tetapi,
dibandingkan negara, NGO bisa langsung berhubungan dengan masyarakat untuk
memperjuangkan misinya tanpa harus melalui alat-alat negara yang terkadang
terlalu rigid.
Kita
ambil contoh dari misi Persis. Tujuan didirikannya Persis sebagaimana tercantum
dalam QA/QD yang disepakati para anggotanya melalui Muktamar adalah untuk mewujudkan
syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan, terutama bagi anggotanya. Ini
adalah aspirasi Persis. Sebagai warga negara di negara demokrasi, apa yuang
menjadi cita-cita Persis tidak boleh diberangus oleh negara. Negara harus
membiarkannya hidup, sekalipun belum tentu aspirasi semacam ini bisa ditampung
oleh negara. Aspirasi dan kepentingan para anggota Persis ini dalam konteks
sistem di negara modern masih boleh dipelihara dalam kelompoknya. Persis boleh
memperjuangkan apa yang menjadi misinya melalui kelompok ini.
Sebagai
kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan politik di negara modern, ada dua
hal yang bisa dilakukan melalui organisasi ini. Pertama, secara sah,
Persis sebagai organisasi dapat mengusulkan apa yang menjadi aspirasinya kepada
negara melalui saluran-saluran politik negara yang diakui seperti pemerintah,
birokrasi, atau anggota legislatif. Sepanjang daya tawar politik yang dimiliki
oleh Persis kuat, apa yang menjadi aspirasinya sangat mungkin segera akan
ditindaklanjuti oleh pemegang kekuasaan di wilayah political society. Kalau
daya tawar politiknya rendah, memang akan menyulitkan bagi Persis untuk dapat
secara kuat memaksakan aspirasinya.
Kedua,
Persis memiliki akses tanpa batas kepada jamaah dan
anggotanya secara langsung. Aspirasi yang diembannya, sepanjang menyangkut
kepentingan jamaah dan anggotanya dapat langsung diterapkan tanpa harus menunggu
kekuatan negara turut membantunya. Bahkan dari sisi ini, kekuatan political
society tidak lebih kuat dibandingkan kekuatan yang dimiliki Persis. Persis
akan dapat menghalangi masuknya akses political society kepada jamaah
dan anggotanya, bila kekuatan proteksi Persis efektif dan besar. Pada bagian
inilah kekuatan ormas lebih unggul dibandingkan organisasi lain, bahkan
dibandingkan organisasi politik (orpol). Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila
ormas (baca: NGO) tepat juga apabila disebut sebagai kekuatan keempat (fourth
power) setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Persis, Pemuda Persis, dan
Politik
Setelah
cukup panjang menjelaskan realitas politik Indonesia saat ini dan posisi ormas
seperti Persis di dalamnya, selanjutnya yang harus didiskusikan adalah
bagaimana sikap Persis dalam konteks hubungannya dengan Politik. Mengenai
Persis, termaktub QD Persis Pasal 22 bahwa pada dasarnya Persis membuka sangat
lebar hubungannya dengan political society, bahkan posisi rangkap
sekalipun. Disebutkan dalam pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Setiap anggota tidak dibenarkan rangkap keanggotaan atau pimpinan
pada organisasi masyarakat keagamaan lainnya.
(2) Setiap Anggota yang akan rangkap keanggotaan atau pimpinan pada
organisasi politik harus dengan persetujuan Pimpinan Pusat.
(3) Anggota Pimpinan Pusat yang akan merangkap
keanggotaan atau pimpinan pada organisasi politik harus dengan persetujuan
Musyawarah Lengkap Pimpinan Pusat.
Untuk
memberi penjelasan atas pasal “Rangkap Anggota dengan Parpol” di atas, PP Persis
kemudian menerbitkan Pedoman Siyasah Jam’iyyah yang isinya secara umum mencoba
memperjelas posisi Persis sebagai ormas dalam hubungannya dengan orpol dan
anggota atau pimpinan organisasinya yang merangkap dengan orpol. Walaupun
demikian tetap saja ada semacam ambiguitas yang tidak bisa dihindarkan antara
keinginan seutuhnya menjadi NGO dengan kepentingan terhadap partai politik yang
merupakan bagian dari political society. Walaupun mungkin tidak dapat
disebut sebagai “ketidakpercayaan diri” atas kekuatan politik yang dimilikinya,
pasal ini memperlihatkan dengan sangat jelas pandangan bahwa secara power, parpol
lebih kuat dibandingkan ormas sampai perlu ada—atau boleh ada—pengurusnya
sendiri yang menjadi bagian dari political society.
Hal
sebaliknya terdapat dalam QD Pemuda Persis. Pada pasal 29 disebutkan dengan
sangat tegas tentang rangkap jabatan, baik dengan ormas lain maupun dengan
parpol. Teksnya berbunyi: Anggota Pemuda Persis tidak dibenarkan merangkap
keanggotaan dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang sejenis dan atau
Organisasi Politik (Orpol). Kemudian pasal ini dipertegas dengan tafsirnya:
Organisasi Politik adalah semua partai politik yang ada di Indonesia maupun
di luar negeri, yang menjadi peserta pemilu ataupun tidak. Larangan ini lebih
menekankan kepada larangan administratif keanggotaan tanpa membatasi aktivitas
politik lainnya. Sehingga pada dasarnya Pemuda Persis dapat melakukan aktivitas
politik, tetapi tidak boleh memasuki wilayah partai politik sebagai anggota.
Apabila seorang anggota Pemuda Persis tercatat sebagai anggota parpol tertentu,
maka dengan sendirinya keanggotaan di Pemuda Persis dinyatakan gugur.
Ada nuansa ketegasan sikap terhadap parpol, tapi masih
berselimut kebingungan. Ini terbukti dengan tidak adanya penjelasan lanjutan
tentang bagaimana semestinya hak-hak politik anggota Pemuda Persis
dipergunakan. Juga tidak ada penjelasan tertulis tentang mengapa kebijakan
seperti ini yang dipilih dalam konteks internal kepentingan Pemuda Persis sendiri
maupun dalam konteks eksternal dalam hubugannya dengan kekuatan-kekuatan political
society. Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan tentang arah gerakan Pemuda
Persis, terutama dalam hubungannya dengan politik. Pada tingkat akar rumput pembiaran
ini tidak selalu mencerahkan. Bahkan, tidak kurang anggapan bahwa Pemuda Persis
anti politik dan tidak peduli dengan perkembangan zaman. Adalah menjadi
tanggung jawab pimpinan Pemuda Persis untuk meperjelas kebingungan ini.
Kedua aturan di atas adalah sama-sama hasil ijtihad melalui
musyawarah dan perdebatan yang panjang dan melelahkan. Jangan diukur dengan
dalil syar’i mana yang lebih benar dan mana yang salah, karena pasti
akan gagal menemukan dalilnya. Analisis justru harus diarahkan pada
perkembangan kondisi dan problem kekinian yang menuntut harus dijawab. Inilah
nantinya yang akan menjadi landscape munculnya maslahat-madharat yang
dapat dijadikan pegangan untuk memilih kebijakan terbaik. Bisa jadi penjelasan
akan sangat subjektif bergantung keluasan pandangan dan pemahaman yang
menjelaskannya. Namun, pada akhirnya pilihan subjektif itulah yang akan menjadi
bahan pertimbangan khalayak menemukan kearifan dalam menentukan pilihan.
Apa yang menjadi kebijakan Persis bukan tempatnya di sini untuk
terlalu panjang lebar diulas. Selain sudah jelas keterbukaan Persis untuk
secara langsung behubungan dengan Parpol dan political-society lainnya, juga
akan lebih baik membaca potensi idealisme pada kebijakan yang diambil Pemuda
Persis. Ini akan menjadi pembanding atas kebijakan yang telah diambil oleh
Persis.
Sejak Muktamar 2010, Pemuda Persis mempertegas positioning
organisasinya di Persis, yaitu sebagai “kader” bagi Persis dan umat. Tugasnya
adalah “membina keimanan, keilmuan, dan kepemimpinan” kader. Atas dasar visi
ini, Pemuda Persis kemudian merancang berbagai kegiatan yang berfokus pada
pencaian keinginan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas di berbagai
bidang, baik itu di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya. Penolakan Pemuda Persis atas keterlibatannya dengan parpol adalah
bagian dari cara Pemuda Persis ingin membina kader-kadernya. Ada beberapa yang
kelihatannya menjadi pertimbangan serius atas penolakan ini.
Pertama, kondisi
politik kepartaian yang dianggap masih belum aman untuk tumbuhnya kader idealis
yang diinginkan oleh Pemuda Persis. Seperti sudah dijelaskan di atas, kondisi
politik yang dikuasai pragmatisme dan uang, bahkan hampir-hampir tidak
ditemukan lagi ideologi dalam partai, menyebabkan siapa pun yang masuk ke
dalamnya akan sulit untuk menjaga dirinya. Fitnah ada di mana-mana. Tidak ikut
terlibat dalam gelimangan uang kotor pun, paling tidak tahu bahwa hak demikian
terjadi, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi di tengah suasana kekuasaan
yang hanya menghargai kekuatan kapital. Mereka yang tidak memiliki modal hanya
dianggap “pengemis” yang tengah mengais-ngais rezeki di tengah pertaruhan
politik (uang) negeri ini.
Saat Pemuda Persis memilih untuk tidak mengizinkan kadernya
merangkap menjadi anggota Parpol, memang aka nada yang mengatakan bahwa Pemuda
Persis tidak memiliki kepedulian untuk memperbaiki sistem perpolitikan di
negeri ini. Kalau kader Pemuda Persis tidak bergabung dengan parpol, bagaimana
parpol akan bisa diperbaiki? Argumen ini dapat saja benar. Akan tetapi, harus
juga dibaca secara riil apakah dengan bergabungnya kader Pemuda Persis akan ada
jaminan bisa mengubah parpol menjadi lebih ideal atau malah kader-kader yang
baik di Pemuda Persis akan ikut terbawa buruk? Belum lagi jika kader Pemuda
Persis yang bergabung adalah kader yang tidak baik malah justru akan membuat
parpol tempatnya berbagabung bentambah buruk. Bila tidak ada jaminan atas hal
ini, maka amat tidak relevan mengaitkan “keharusan” bergabungnya kader Pemuda
Persis dengan parpol sebagai usaha untuk “memperbaiki perpolitikan negeri ini”.
Pemuda Persis sendiri merasa bahwa jangankan bergabung dengan parpol, mengoptimalkan
potensi politiknya sendiri saja belum bisa; apalagi harus berjibaku di tengah
arus politik uang yang sulit dikendalikan. Oleh sebab itu, dalam hal ini
berlaku hadis
Kedua, Pemuda Persis
tidak ingin konsentrasinya pada kaderisasi terganggu akibat keterlibatan
anggota-anggotanya dengan politik, apalagi pemimpinnya. Seperti telah
dijelaskan di atas bahwa konsentrasi Pemuda Persis adalah mempersiapkan
kader-kader terbaik untuk menjadi kader Persis dan kader umat yang kokoh secara
keimanan, tangguh secara keilmuan, dan cakap menghadapi berbagai tantangan
zamannya. Tugas mempersiapkan kader ini bukan tugas yang mudah. Tidak bisa
dilakukan sambilan. Harus ada keseriusan dan konsentrasi.
Ini alasan teknis, namun sangat penting. Seringkali tugas-tugas
yang harus dikerjakan di jam’iyyah dianggap sebagai tugas sampingan sehingga
dikerjakan pula secara tidak serius. Lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya
memanfaatkan keberadaannya di jam’iyyah sebagai batu loncatan untuk meraih
posisi-posisi politik tertentu. Alih-alih berpikir tentang bagaimana
menjalankan tugas dan fungsi kaderisasi dengan baik, yang ada justru posisi
organisasi hanya dijadikan sapi perahan untuk kepentingannya sendiri.
Untuk menghindari situasi tindakan yang merugikan kedua belah
pihak, baik parpol maupun jam’iyyah, Pemuda Persis mendorong kadernya untuk membuat
pilihan bertanggungjawab yang menunjukkan keseriusannya untuk mengerjakan
sesuatu. Bila yang dipilihnya adalah Pemuda Persis, maka tugas utama di dalam
jam’iyyah ini adalah pembinaan dan kaderisasi. Lakukan ini dengan penuh
dedikasi dan tanggung-jawab. Jika tidak nyaman dengan pekerjaan dan tugas di
Pemuda Persis dan lebih memilih pekerjaan-pekerjaan politik, lakukan pula hal
itu dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Pilihlah parpol yang bisa
mewadahi idealismenya. Konsentrasilah di sana untuk secara serisu dapat belajar
dan bereksperimentasi untuk mewujdukan cita-cita politik Islam dengan benar. Jangan
mejadi orang yang mudabdabîn, tidak tegas apa yang sebenarnya ia ingin
pilih.
Ketiga, conflict of interest yang sangat mungkin terjadi antara visi jam’iyyah dengan
kepentingan pramatis parpol atau bahkan dengan visi parpol itu sendiri. Alasan
ketiga ini yang sangat penting menyangkut ideologi gerakan yang saat ini terasa
“asing” saat diperbincangkan di tengah tren politik-uang. Akan tetapi, bagi
Pemuda Persis yang sejak awal memperjuangkan ideologi, bukan keuntungan dan
kepentingan materi, maka poin ini menjadi sangat penting. Pemuda Persis
menyadari sepenuhnya bahwa tidak setiap parpol memperjuangkan ideologi yang
sama seperti yang diperjuangkan Pemuda Persis. Kalau ada anggota Pemuda Persis
yang akhirnya bergabung dengan Parpol dengan visi ideologis yang berbeda, jelas
ini kontra produktif dengan misi Pemuda Persis. Ini juga bisa diartikan bahwa
yang bersangkutan “gagal” dikader oleh Pemuda Persis sehingga memilih untuk
memperkuat barisan orang lain yang memperjuangkan ideologi yang berbeda. Oleh
sebab itu, bagi anggota Pemuda Persis yang seperti itu dipersilakan untuk menentukan
polihan antara Pemuda Persis atau yang lain.
Mungkin saja ada parpol yang ideologinya sejalan dengan Pemuda
Persis, namun ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan. Conflict of
interest bisa saja terjadi pada hal-hal yang lebih praktis, terutama
masalah pekerjaan. Di satu sisi kader yang bersangkutan harus mengerjakan
sesuatu untuk partainya, sementara Pemuda Persis menuntut hal lain. Salah
satunya pasti akan ada yang dikorbankan, partai atau Pemuda Persis. Siapa pun
yang dikorbankan pasti akan dirugikan. Oleh sebab itu, sebelum ada pihak-pihak
yang akan dirugikan, sejak awal Pemuda Persis dengan tegas memberikan pilihan
kepada kader-kadernya untuk tetap di Pemuda Persis atau di tempat lain. Fokus
pada suatu pekerjaan akan lebih memungkinkan siapapun lebih berhasil mencapai
tujuannya secara cepat dan efektif. Pekerjaan yang sambilan dan lonpat-lompat
justru hanya akan mengakibatkan kegagalan.
Closing
Statement: dengan Cara
Apa Pemuda Persis Berpolitik?
Melihat argumen-argumen di atas cukup tegas bahwa Pemuda Persis
saat ini memilih untuk tidak berada di dalam arus politik “parpol”. Mungkin
pertanyaan berikutnya, dengan cara apa Pemuda Persis ikut menentukan
“hijau-merah”-nya politik negeri ini? Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan
ini.
Pertama, kembali
kepada teori politik-kenegaraan modern yang dianut di Indonesia. DI negeri ini
kekuatan politik penentu kebijakan bukan hanya ada di wilayah political
society, melainkan ada pula secara efektif di wilayah civil society. Kedua
kekuatan ini secara bersama ikut menentukan terbentukanya suatu kebijakan. Pemuda
Persis adalah salah satu bagian dari civil society yang keberadaan dan
hak-hak politikya diakui negara. Jadi, tanpa harus menjadi parpol, bergabung
dengan parpol tertentu, atau “menitipkan” kadernya kepada parpol tertentu,
secara inheren di dalam tubuh Pemuda Persis ada kekuatan politik yang efektif
dan dapat digunakan secara langsung untuk ikut menentukan kebijakan negara.
Masalahnya adalah bahwa posisi politik ini seringkali tidak
disadari keberadaannya sehingga sangat jarang—kalaupun dikatakan tidak
pernah—digunakan. Banyak kebijakan yang sesungguhnya bisa diubah haluannya
hanya berbekal nama “Pemuda Persis”. Misalnya saat ini tengah digodog rancangan
KUHP di DPR yang diusulkan pemerintah. Sebagai bagian dari kekuatan civil
society yang memiliki hak politik, Pemuda Persis bisa saja datang ke DPR
atau pemerintah untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Kekuatan politik
Pemuda Persis akan semakin diperhitungkan apabila ditambah dengan pengerahan
masa. Kebijakan bisa berubah atas usul Pemuda Persis. Akan tetapi, apakah di
Pemuda Persis ada kader yang siap mengkritisi RUU itu dengan argumentasi yang
tidak memalukan? Juga apakah di Pemuda Persis ada yang memiliki kapasitas untuk
memainkan peran politik ini? Jelas ini kembali kepada keberhasilan kaderisasi
di Pemuda Persis. Oleh sebab itu, untuk saat ini sebetulnya tidak perlu terlalu
takut Pemuda Persis tidak bisa mempengaruhi kebijakan politik dengan tidak ikut
bergabung dengan parpol.
Kedua, visi politik
itu bukan hanya sekedar memengaruhi kebijakan, tetapi juga pada aspek
implementasi kebijakan dan hukum di masyarakat (tanfîdz). Pemerintah
memiliki perangkat untuk tujuan politik yang satu ini. Perangkatnya disebut
“aparat penegak hukum” seperti birokrasi, polisi, pengadilan, jaksa, dan
sebagainya. Akan tetapi, “badai uang” yang melanda negeri ini telah melumpuhkan
kekuatan aparat penegak hukum sehingga berakibat law disobedience (ketidaktaatan
pada hukum) terjadi di mana-mana. Aparat tidak banyak yang bisa bertindak
tegas. Banyak peraturan perundangan yang akhirnya hanya jadi macan kertas. Secara
politik, ini adalah suatu bentuk kegagalan lain.
Pemuda Persis atau Persis adalah di antara sekian banyak NGO
yang memiliki akses kepada anggota, jamaah, dan simpatisannya yang bisa jadi
lebih dipercayai dibanding kepercayaan mereka terhadap negara (baca: political
society). Tentu ini merupakan efek dari konsistensi Persis dalam
membina dan mendekati jamaah. Para pemimpin Persis dipercayai dan ditaati
karena kejujuran, keihklasan, keilmuwan, dan kezuhudan mereka. Sementara para
birokrat dan politisi banyak yang tidak ditaati karena ketidakjujuran, pamrih,
dan kemewahan yang mereka kejar. Dibandingkan dengan aparatur negara, kekuatan
daya terap nasihat dari para pemimpin Persis (yang juga umumnya ulama) lebih
kuat dibandingkan para aparatur politik. Ini adalah wilayah politik yang
sebetulnya terbuka peluangnya untuk digunakan seluas-luasnya bagi tegaknya misi
politik Islam, yaitu tegaknya agama dan kesejahteraan umat.
Walaupun kedua wilayah politik yang bisa dimanfaatkan oleh
kader-kader Pemuda Persis yang memang ingin berjuang dengan wasilah “politik”
nyata-nyata dan jelas adanya, namun seringkali tersamarkan dengan kenyataan
bahwa kedua wilayah itu adalah wilayah yang “kering”. Tidak ada gelimangan
anggaran dan uang di sana. Akibatnya, daya tarinya menjadi sangat rendah. Kalau
ini memang yang menjadi alasan mengapa fasilitas politik yang inheren di
jam’iyyah tidak dimanfaatkan, maka benarlah bila ada yang su’uzhan memprediksi
bahwa orang-orang yang bertarung untuk masuk ke ruang-ruang politik di wilayah political
society sama-sama seperti yang lain hanya ingin berebut “kue politik” alias
uang! Kalau memang itu yang terjadi, apa artinya ada kader-kader Persis atau Pemuda
Persis yang ikut serta dalam pertarungan politik praktis negeri ini? Wallâhu
A’lam bi Al-Shawwâb.
[1] Lihat Goodin and Hens Dieter Klingemann (ed.). A New Handbook of
Political Sicence. (London: Oxford University Press, 1995) hal. 7
[2] Al-Mawardi menyebut tujuan kekuasaan dalam Islam adalah untuk
menjaga urusan agama (hirâsah al-dîn) dan mengelola urusan dunia (siyâsah
al-dunyâ) lihat : Muhammad Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâmah
Al-‘Uzhmâ. (Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1994) hal. 35; lihat juga
Shalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. (Kairo: Dâr Al-I’lâm
Al-Dauli, tt.) hal. 5.
[3] Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah
Al-Mulûk. (Kairo: Maktabah Al-Kulliyyah Al-Azhariyah, tt.) hal. 18
[4] Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. (Beirut:
Dâr Al-Ma’rifah, 2001) Jil. 6 hal. 50.
[5] S.P. Varma. Teori Politik Modern. (Jakarta: Raja Grafindo,
2007) hal. 225. Lihat juga Arbi Sanit. Swadaya Politik Masyarakat. (Jakarta:
Rajawali, 1985) hal. 35
[6] NGO ini secara umum didefinisikan sebagai organisasi yang memiliki
cirri-ciri: 1) bukan bagian dari pemerintah, birokrasi, maupun negara; 2) tidak
bertujuan memperoleh keuntungan materi (nirlaba); 3) kegiatan dilakukan untuk
kepentingan masyarakat umum. Definisi ini adalah definisi yang resmi dibuat
oleh negara melalui Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990. Ini
merupakan wujud dari pengakuan negara atas keberadaan organisasi-organisasi
non-pemerintah. Apabila RUU Ormas jadi disahkan, maka bagian dari NGO yang
khusus, yaitu ormas, mendapat legitimasi lebih kuat lagi keberadaannya oleh
negara.
[7] Arbi Sanit. Op. Cit. hal. 35
0 comments:
Posting Komentar
Jangan lupa tinggalkan komentar. Kritik dan saran saya tunggu.
Semoga hari ini menjadi hari yang penuh dengan kemuliaan dan penuh dengan harapan. Semoga Allah senantiasa membimbing, memberi petunjuk, dan lindungan-Nya kepada kita.