Urgensi Sosiologi Dakwah Versi Irfan Murtaqie Zaen


Oleh : Irfan Murtaqie Zaen[1]
Jika melihat dari sisi historis perjalanan Nabi Muhammad Saw dalam mengemban dakwah, terlihat jelas bahwa misi Ad-Dinul Islam yang dibawanya adalah untuk kepentingan umat manusia di seluruh dunia sepanjang masa.

Wahyu sumber berbagai ilmu


Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Oleh : Irfan Murtaqie Zaen[1]

Al-Qur’an yang merupakan salah satu bukti kebenaran nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik mempesonakan, dan pada saat yang sama mengandung  makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun

Peranan Media dalam pemberantasan Korupsi


Sekarang ini, pemberitaan mengenai korupsi di media massa sangatlah kencang.  Rupanya, bumi Indonesia ini wajahnya telah diwarnai oleh budaya korupsi. Setiap hari, topik korupsi seolah menjadi bahasan utama dalam pemberitaan di media massa. Terbersit dalam benak kita sebuah pertanyaan, apakah dengan gencarnya pemberitaan tentang korupsi melalui media massa akan memberi pengaruh angin segar dalam pemberantasan korupsi yang sangat merugikan bangsa Indonesia ini? Efektifkah peran media massa dalam memberantas korupsi? Pro dan kontra mewarnai jawaban atas pertanyaan tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa media massa cukup efektif dalam memberantas korupsi, tetapi, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginan kebutuhan informasi melalui medianya baik melalui media cetak maupun media elektronik seperti, radio, televisi, internet. Fungsi informatif yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur. Pers akan memberitakan kejadian-kejadian pada hari tertentu, memberitakan pertemuan-pertemuan yang diadakan, atau pers mungkin juga memperingatkan orang banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi.

Media mempunyai fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan.Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).

Peran penting media massa di bidang pencegahan korupsi, antara lain, diwujudkan dalam bentuk memberi informasi kepada masyarakat tentang makna korupsi. Tujuannya, agar masyarakat mengetahui perbuatan yang termasuk korupsi dan tidak termasuk korupsi. Melalui pemberitaan media massa, masyarakat menjadi tahu bahwa kepala daerah yang menerima pendapatan di luar gaji secara tidak legal berarti melakukan korupsi. Media massa pendorong terwujudnya good governance (pemerintahan yang baik). Media sebagai salah satu sumber informasi publik diharapkan bisa menjadi alat untuk mendorong berjalannya ketiga prinsip good governance (prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi).

Harus diakui, melalui media lah , serangkaian peristiwa, opini, dan realitas dapat disajikan dalam bentuk informasi kepada masyarakat. Dengan menyajikan berita-berita aktual dari berbagai isu yang berkaitan dengan praktek-praktek korupsi, hukum, politik dan seterusnya, menunjukkan bahwa sesungguhnya media memiliki kontribusi yang esensial dalam mendukung proses pembangunan demokrasi. Terlebih, saat ini kita sedang berada dalam masa transisi demokrasi yang salah satu jalannya melalui pembaruan tata pemerintahan. Karenanya, inilah saat yang tepat bagi media massa untuk mendukung proses pembaruan tata pemerintahan yang baik melalui berita-berita informatif, cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks kekinian, peran media massa dituntut untuk mampu mengangkat berbagai berita korupsi di berbagai level pemerintahan secara objektif. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyatakan bahwa saat ini korupsi adalah musuh terbesar Indonesia selain terorisme. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi media untuk tidak mendukung pemberantasan korupsi di tanah air melalui pengungkapan dan liputan kasus-kasus korupsi. Misalnya untuk peliputan kasus korupsi, peran media sangat relevan dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Pers 40/1999. Dalam pasal 6 Undang-undang ini disebutkan bahwa media harus bisa menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik.

Maka, sesuai dengan amanah UU Pers, korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya sudah seharusnya menjadi bidikan media massa. Di sisi lain, media juga dituntut memberikan pemberitaan yang akurat, independen, dan kritis. Tiga unsur pemberitaan ini sesuai dengan prinsip transparansi yang merupakan salah satu konsep good governace . Sehingga jika tiga hal ini terpenuhi, maka tidak bisa diragukan bahwa media memberikan kontribusi yang signifikan menyongsong pembaruan tata pemerintahan yang baik.

Namun sayangnya, masih banyak media yang belum sepenuhnya independen dan objektif dari kepentingan tertentu (contoh: pemiliknya). Banyak pemberitaan dalam media yang tidak objektif dan hanya menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga berita yang disajikannya tidak lagi jernih. Seringkali media justru dipakai sebagai alat pembenaran atas suatu kasus tertentu. Inilah yang bisa mengakibatkan terjadinya salah pengertian dalam masyarakat pembacanya. Sebab pembaca adalah merupakan konsumen yang menikmati hasil produksi industri media secara langsung. Sedangkan media, bukan hanya bisa berperan sebagai pemberi informasi, tetapi sebaliknya media juga bisa melakukan hal-hal yang bersifat provokasi dan mempengaruhi opini pembacanya. Jika hal ini terjadi, akan menjadi batu sandungan proses demokrasi.

Pendapat yang mengatakan bahwa peran media massa kurang efektif dalam memberantas korupsi adalah dalam melawan korupsi, misalnya, media di Indonesia masih sebagai pemandu sorak (cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Media belum bisa menjadi sopir yang berada di depan dan mengendalikan agenda, melainkan baru sebagai penumpang yang duduk di belakang aksi anti korupsi. Artinya, wartawan tidak menggali dan menyelidiki kasus korupsi sendiri, melainkan menunggu hasil laporan paar penyelidik resmi atau partikelir. Ketimbang memburu dan mengungkap koruptor, wartawan Indonesia hanya mengikuti mereka yang membongkar dan menyelidiki kasus-kasus korupsi.

Media di Indonesia, bukannya melakukan investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi, melainkan baru pada tahap reporting on investigation. Media-media di Indonesia masih sedikit sekali menyediakan laporan mengenai korupsi, kolusi dan penyimpangan lain, yang betul-betul merupakan hasil penyelidikannya sendiri. Memang ada satu dua wartawan yang memiliki jiwa detektif seperti Bondan Winarno. Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan itu, misalnya, melakukan investigasi atas kematian Michael de Guzman, seorang ahli eksplorasi perusahaan tambang minyak Bre-X, yang dinyatakan bunuh diri tahun 1997 dengan melompat dari helicopter di Busang, Kalimantan Timur.

Hasil investigasi Bondan menyimpulkan bahwa De Guzman memalsukan kematiannya untuk meraup keuntungan dalam bisnis saham perusahaan. Mayat “De Guzman” yang ditemukan di rawa adalah mayat orang lain. Wartawan detektif macam Bondan masih langka di negeri ini, karena investigative reporting yang bagus memang mahal. Pengumpulan data membutuhkan waktu dan uang yang banyak. Meskipun mempunyai bagian rubrik investigasi yang memproduksi laporan kritis bisa mendongkrak prestise sebuah koran, pihak manajemen lebih mengutamakan investasi di bidang teknologi ketimbang alokasi dana untuk investigative reporting.

Kurangnya sumber daya dan sumber dana membuat wartawan Indonesia jarang sekali mendapatkan tugas untuk mengungkap sebuah kasus dalam jangka waktu yang panjang. Mereka hanya menjalankan tugas rutin pencarian berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya informasi bocoran dari sumber mengenai kasus besar yang bisa meledak di surat kabar Peran media massa dalam upaya menghapus korupsi dari negeri ini dinilai belum maksimal. Media kebanyakan hanya senang memberitakan peristiwa-peristiwa penegakan hukum, seperti penangkapan pejabat atau mantan pejabat, tetapi tidak mengeksplorasi aspek lain.

Berita tentang pencegahan korupsi secara sistemik pun jarang dilirik karena dinilai tak menarik.   Bagir mengungkapkan, media massa selalu bicara tentang aspek proses hukum atau legal process. Padahal, dalam dunia hukum sudah diketahui bahwa proses hukum tidak efektif lagi untuk meniadakan tindak pidana korupsi. Media terkadang juga mempersempit penegakan hukum hanya pada peradilan.

Padahal, korupsi tidak terjadi di sektor ini saja, tetapi dapat juga ditemui di ranah administratif, seperti di kantor imigrasi atau pemasyarakatan. Persoalan itu juga terjadi dalam pembuatan hukum/undang-undang dan birokrasi.   Teristimewa dalam kasus bank Century, ketika kasus ini mulai ditangani oleh aparat penegak hukum, media tetap memiliki peran penting untuk mengawalnya sehingga masyarakat bisa memahami siapa yang sebenarnya berada di balik kasus ini. Hal ini tentu saja sejalan  dengan ketentuan dalam UU nomer 40 Tahun 1999 tentang pers, bab II, pasal 3 ayat 1 yang menyatakan bahwa Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial.

Dengan pemberitaan yang cukup gencar terhadap kasus-kasus korupsi, diharapkan selanjutnya akan membuat para koruptor kapok untuk menjalankan aksinya lagi. Dengan begitu pula,  kontrol masyarakat bisa berjalan secara efektif. Sebab tanpa adanya kontrol penuh dari masyarakat, penanganan korupsi di negeri ini tak mungkin akan bisa berjalan secara tuntas. Sebaliknya, masyarakat tak akan bisa melakukan kontrol apabila tidak mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Harun Yahya, Peran Media Massa Dalam Memberantas Korupsi Sheila Coronel, Investigating Estrada, PCIJ, 2000.
Septiawan Santana, Jurnalisme Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, 2003.
T. Yulianti, Media dan Kampanye Anti-Korupsi, Suara Pembaruan 17-12-2003.

GEJALA SOSIAL; ANALISIS MEDAN DAKWAH


Oleh : Irfan Murtaqie Zaen[1]

Aktifitas dakwah saat ini jika kita perhatikan semakin semarak. Terbukti dengan bermunculannya acara-acara keislaman diberbagai bidang/wilayah. Hal ini memberikan gambaran bahwa saat ini masyarakat mulai sadar akan pentingnya dakwah guna membangun karakter masyarakat yang islami. Selain itu, sadarnya masyarakat terhadap dakwah disebabkan begitu rendahnya moral/akhlak yang tertanam dalam diri generasi muda. Dengan semakin sering diberitakannya ditelevisi maupun dalam koran kasus-kasus tindakan asusila dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini, memberikan bukti bahwa saat ini generasi muda masih jauh dari sentuhan kerohanian meskipun dakwah semakin semarak.

Kasus di atas sangat perlu kita perhatikan melalui pendekatan sosiologi dakwah. Mengapa demikian ? hal ini karena, kajian sosiologi tidak bisa lepas dari masyarakat sebagai objek kajian. Lingkup kajian sosiologi dakwah membahas mengenai eksistensi dan esensi masyarakat secara komprehensif dalam perspektif sosiologi dakwah. Lalu kemudian melakukan pendalaman pemahaman mengenai masyarakat yang meliputi : hakikat masyarakat, karakteristik masyarakat, struktur masyarakat, hubungan sosial manusia dalam masyarakat, membangun hubungan sosial, serta prinsip-prinsip dasar hubungan sosial untuk kepentingan pengembangan dakwah.

Islam dapat masuk ke Indonesia dan tersebar di Indonesia dikarenakan sosok d’ai pada saat itu mampu mengkaji dan memahami medan dakwah yang sedang dihadapi. Kebudayaan / tradisi yang begitu kental dan jauh dari ketentuan syariat, mampu dijadikan sebagai media pengenalan agama islam sehingga islam dapat diterima secara perlahan dan akhirnya menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Inilah yang dilakukan para mujahid dakwah terdahulu seperti wali songo sehingga islam dapat menyebar.

Jika kita perhatikan, dakwah yang berkembang saat ini belum berpijak pada pemahaman kondisi sosial  yang memadai diantaranya seperti tema-tema dakwah yang disajikan banyak yang kehilangan relevansi dengan isu-isu, masalah-masalah dan kebutuhan yan berkembang di masyarakat. Tema-tema dakwah yang berkembang cenderung berorientasi pada persoalan eskatologis (persoalan keakhiratan). Sementara bagaimana membangun kehidupan didunia yang bahagia dan sejahtera kurang mendapat tekanan yang serius. Sehingga, amat wajar bila isu-isu besar seperti : kekerasan, terorisme (yang oleh barat selalu dikaitkan dengan islam, perdamaian global, hak asasi manusia, pornografi, korupsi, perusakan lingkungan, perdagangan manusia dan lain-lain, nyaris tak terbahas secara mendalam (Amrulloh Ahmad).

Selain itu juga, Masyarakat tidak dijadikan sebagai sasaran utama pemberdayaan melalui upaya penyadaran agar mereka mau mengkaji, berpikir, dan bertindak. Dalam ragam perhelatan dakwah, masyarakat cenderung menjadi objek yang pasif. Masyarakat dipandang sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan keyakinan dan nilai-nilai moral. Da’i berbicara, hadirin mendengarkan. Da’i berpikir, hadirin dipikirkan. Da’i mengatur, hadirin diatur, dan seterusnya. Dalam situasi dakwah seperti itu, masyarakat tidak dibangkitkan dan ditumbuhkan minatnya untuk mengembangkan kreativitas, berpikir kritis, dan menata ulang kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik (Yudi Latif).

Juga tidak jarang perhelatan dakwah yang berkembang di masyarakat keberhasilannya diukur oleh kuantitas jumlah pengunjung, sementara  bagaimana perkembangan masyarakat selanjutnya sebagai sasaran utama dakwah jarang dipikirkan. Malah proses dakwah yang berkembang cenderung lebih banyak “menguntungkan” para da’i ketimbang masyarakat yang diserunya. Misalnya, betapa banyak da’i yang dilambungkan status sosial, ekonomi, atau politiknya setelah laris “dipakai” berbagai majelis taklim. Namun tidak demikian halnya dengan kondisi masyarakat yang diserunya, keadaan mereka tetap memprihatinkan. Sehingga proses dakwah hanya melahirkan struktur masyarakat baru dimana para da’i menjadi elite sementara masyarakat tetap berada di struktur bawah, miskin dan terpinggirkan. Bila etos dakwah yang berkembang di masyarakat masih terus seperti ini, maka tidak mustahil umat Islam akan kehilangan kreativitas, budaya berpikir kritis, dan kegairahan bertindak dalam kehidupannya di masyarakat (Yudi Latif).

Singkatnya, gerakan dakwah yang sekarang berkembang belum mampu secara optimal membangkitkan dan menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkaji, berpikir kritis, dan mengembangkan kreativitas. Malah yang memprihatinkan, dalam melihat berbagai ketertinggalan di kalangan umat Islam, para pelaku dakwah tidak jarang hanya sebatas mampu menyalahkan kebodohan, mengkambinghitamkan kemiskinan, mengecam dan menserapahi kemaksiatan, atau melakukan tindakan-tindakan anarkhis dengan dalih memberantas kemungkaran, tanpa melakukan aksi-aksi berarti untuk mendorong masyarakat sehingga mereka mau dan mampu mengubah keadaannya sendiri.

Sejatinya, tradisi dakwah yang dikembangkan harus mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat, dimana masyarakat lebih diposisikan sebagai subjek, sementara da’i hanya sebatas fasilitator perubahan.

Masyarakat diberi ruang kebebasan untuk mengubah keadaannya sendiri. Masyarakat dibangun kesadarannya bahwa sesungguhnya semua anggota masyarakat adalah da’i bagi dirinya sendiri, yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia tidak mau mengubah apa yang ada pada dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum sebelum mereka mau mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Forum-forum dakwah mesti diorientasikan menjadi sebuah sarana dialog untuk membangkitkan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif,  memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka kehendaki, sehingga terbangun  kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya dengan kekuatan yang mereka miliki sendiri. Dengan begitu esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah masyarakat, tapi menciptakan suatu ruang, peluang, atau kesempatan sehingga masyarakat akan mengubah dirinya sendiri (Yudi Latif).



[1] Mahasiswa KPI B IV, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN SGD Bandung. Koordinator komunitas menulis KPI (Exellentbee)

Analisis Sosiologi Masyarakat Kota Untuk Strategi Dakwah

                                                                                                                         

Sosiologi berasal dari kata Latin socius, dan kata Yunani yaitu logos. Socius berarti kawan atau teman, dan logos berarti pengetahuan. Dengan demikian, sosiologi berarti pengetahuan tentang perkawanan atau pertemanan. Pengertian pertemanan ini kemudian diperluas cakupannya menjadi sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat, atau bisa disebut dengan masyarakat. Dengan demikian, sosiologi diartikan sebagai pengetahuan tentang hidup bermasyarakat. Kata socius dibentuk dari kata “sosial” yang diartikan sebagai “serba berjiwa kawan,” “serba terbuka” untuk orang lain, untuk memberi dan menerima, untuk umum. Kebalikan dari “sosial” adalah “individual,” yaitu serba tertutup.

Menurut Max Weber said that sociology is knowledge which aim that try to understand about the social act. (Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.)[1]
 
Manusia akan senantiasa bergaul atau berhubungan dengan sesamanya dalam suatu kelompok yang dinamakan masyarakat. Keinginan manusia untuk selalu bergaul atau berhubungan itu merupakan objek kajian sosiologi. Dalam bergaul mereka berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu keteraturan hidup dalam masyarakat. 

Menurut Paul B. Horton[2].  masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu. Pada bagian lain, Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan lainnya.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai masyarakat, alangkah baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai masyarakat setempat. Masyarakat setempat merupakan suatu istilah untuk menunjukan sekelompok manusia yang hidup disuatu wilayah. Apabila anggota suatu kelompok , baik kelompok itu besar atau kecil, sehidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut masyarakat setempat.

Soerjono soekanto berujar dalam bukunya “Sosiologi suatu pengantar (edisi baru ketiga1987)” masyarakat yang mempunyai tempat tinggal yang tetap dan permanen, biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya.
Masih dalam buku yang sama milik Soerjon soekanto, beliau mengutip dari buku Kingsley Davis “Human Society”, disana ada penjelasan mengenai tipe-tipe masyarakat setempat yakni :

a.       Jumlah penduduk.
b.      Luas, kekayaan dan kepadatan penduduk daerah pedalaman.
c.       Fungsi-fungsi khusus dari masyarakat-masyarakat setempat terhadap sekuruh masyarakat.
d.       Organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan.

Setelah kita mengetahui tipe masyarakat setempat di atas, maka tipe-tipe tersebut dapat dipergunakan untuk membedakan antara masyarakat sederhana dan modern serta masyarakat pedesaan dan perkotaan.

Dikarenakan pada pertemuan kemarin (17-04-13) kelompok pertama telah membahas mengenai masyarakat desa, pada kesempatan kali ini penulis akan berfoskus untuk membahas mengenai masyarakat perkotaan. 

Masyarakan perkotaan biasa disebut dengan “urban community”dan masyarakat desa biasa disebut “rural community”[3]. Masyarakat perkotaan  / urban community adalah masyarakat kota yang tidak tentu penduduknya. Kota adalah sebuah area urban[4] yang berbeda dengan desa berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan ataupun status hukum. Tekanan pengertian “kota”, terletak pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.[5]
 
Di desa yang utamanya adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama dari pada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah, dan sebagainya. Lain dengan orang-orang kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Orang-orang kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. Kalau menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan bahwa makanan yang dihidangkan tersebut memberikan kesan bahwa yang menghidangkannya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Pada orang kota, makanan yang dihidangkan harus terlihat mewah dan tempat untuk menghidangkannya juga harus mewah dan terhormat. Disini terlihat pembedaan penilaian; orang desa menilai makanan sebagai suatu alat untuk memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan pada orang-orang kota  sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial.[6]

Dalam buku karangan M. Cholil Mansyur[7], beliau menjelaskan sifat-sifat masyarakat kota, diantaranya :

1.      Sikap kehidupan

Masing-masing anggota masyarakat berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakat lainnya, ini menunjukan corak kehidupan yang terbatas dimana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan pribadi sebagaimana yang disebut oleh Prof. Djojodiguno, S.H. dengan istilahnya masyarakat Patembayan atau sama dengan yang dimaksud oleh sosiolog jerman Ferdinand Tonnies yang terkenal dengan isltilah Gesselschaft.

2.      Tingkah laku

Tingkah lakunya bergerak maju mempunyai sifat kreatif, radikal dan dinamis. Dari segi budaya masyarakat kota umumnya mempunyai tingkatan budaya yang lebih tinggi, karena kreatifitas dan dinamikanya kehidupan kota lebih cepat menerima yang baru atau membuang sesuatu yang lama, lebih cepat mengadakan reaksi, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru.

3.      Perwatakan 

Perwatakannya cenderung materialistis.[8] Akibat dari sikap hidup yang egoisme dan pandangan hidup yang radikal dan dinamis menyebabkan masyarakat kota lemah dalam segi religi, yang mana menimbulkan efek-efek negatif yang berbentuk tindakan a-moral, indisipliner, kurang memperhatikan tanggungjawab sosial.


[1] Bagja Waluya, Sosiologi; menyelami sosial di masyarakat, PT. Pribumi Mekar, 2009. hal.4
[2] Ibid. hal.10
[3] Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, halaman 57.
[4] Dalam kamus besar bahasa indonesia, urban artinya berkenaan dng kota; bersifat kekotaan. urbanisasi yang artinya perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dr desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan): pembangunan desa dapat membendung  perubahan sifat suatu tempat dr suasana (cara hidup dsb) desa ke suasana kota. Urbanisme : sikap dan cara hidup orang kota; 2 perkembangan daerah perkotaan; 3 ilmu tentang kehidupan kota.
[5] Sedikit me-review dan mengingat kembali, bahwa pada pertemuan kemarin (17/04/13) kelompok1 telah menjelaskan kehidupan pedesaan :
a)       Memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
b)       Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban)
c)       Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time)
d)       Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
e)       Masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.
f)        Kehidupan keagamaan, sangat religius ( Religius trend)
g)       Jalan pikiran orang desa umumnya lebih praktis lebih mementingkan pada kekerabatan.
h)      Perubahan – perubahan sosial cenderung lebih lambat karena masyarakatnya tertutup terhadap pengaruh luar.
[6] Soerjono Soekanto, op.cit., halaman 137
[7] Drs. Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan desa, Usaha Nasional, Surabaya.
[8] Cholil Mansyur  lebih lanjut, menjelaskan ada beberapa penyebab masyarakat kota menjadi materialistis. Dampak dari mementingkan diri sendiri menyebabkan orang-orang mengutamakan dengan segala usaha untuk mengumpulkan harta benda untuk memperkaya diri. Pada mulanya ini disebabkan oleh rasa kekhawatiran kelangsungan hidup pribadi keluarganya untuk masa-masa mendatang karena sulitnya mencari nafkah di kota. Penyebabnya antara lain :
a.       Faktor kenaikan harga.
b.       Penghasilan yang relatif statis (karena pada umumnya warga kota terdiri dari kaum buruh dan pegawai yang penghasilannya hanya tergantung pada gaji).
c.        Pengaruh dari tingkat hidup masyarakat kota yang menuntut banyak biaya, karena kebutuhannya jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat desa.

Konsep islam tentang pemanasan global (Global Warming)


Oleh : Irfan Murtaqie Zaen[1]

Agama islam merupakan agama yang ajarannya universal. Berbagai aspek yang ada dalam kehidupan kita, semua dibahas di dalamnya. Termasuk juga masalah lingkungan. Sesungguhnya Islam adalah agama yang ramah lingkungan. Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga lingkungan dan dilarang merusak lingkungan tanpa ada alasan yang kuat. Jika umat islam tidak mengindahkan tuntunan Allah swt dalam melestarikan lingkungan, maka apa yang difirmankan Allah swt dapat menjadi kenyataan : hal ini sebagaimana dalil Q.S Ar-rum : 41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan-tangan manusia.”

Saat ini, fenomena yang terjadi adalah lingkungan kita menjadi rusak. Salah satu penyebabnya adalah pemanasan global (Global warming). Jika kita perhatikan, pemanasan global merupakan fenomena peningkatan suhu atau temperatur rata-rata bumi. Ini disebabkan adanya konsumsi energi yang berlebihan sehingga menghasilkan gas rumah kaca yang di buang ke atmosfer.

Penyebab lain dari pemanasan global adalah penggundulan dan kerusakan hutan. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa salah satu fungsi tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca, dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). penggundulan dan kerusakan hutan biasanya terjadi karena ada kepentingan untuk perluasan lahan bisnis, pembangunan, dan sebagainya. Padahal, dalam hadits yang diterima dari Ibnu Mas’ud riwayat Thabrani menjelaskan :

مَنْ بَنَى فَوْقَ مَا يَكْفِيْهِ كُلِّفَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ اَنْ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ
“Barang siapa yang membangun lebih dari keperluannya, maka akan dibebankan untuk membawa di pundaknya pada hari kiamat.”

Dari sini tampak bukannya manusia dilarang untuk membangun sesuai dengan kebutuhan, akan tetapi itu berlebihan sehingga menghabiskan lingkungan yang semestinya disediakan untuk kehidupan manusia. Dapat dilihat manusia sekarang hidup berlebihan, kemubadziran, bahkan kemewahan, sehingga mengancam kehancuran.

Hilangnya lahan dan rusaknya hutan itulah yang menjadi sebab meninggkatnya gas rumah kaca, karena semakin sedikitnya tanaman yang menyerap gas karbon dioksida yang dihasilkan dari konsumsi energi bahan bakar yang berlebihan.

Selanjutnya, peninggkatan gas rumah kaca juga terjadi dalam bidang pertanian dan peternakan. Kenapa bisa demikian? Karena, Sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawah-sawah yang tergenang yang menghasilkan gas metana, pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan sisa-sisa pertanian, serta pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N20).

Satu hal lagi yang menyebabkan mengapa pemanasan global (global warming) itu terjadi adalah sampah. Sampah menghasilkan gas metana (CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Setiap hari orang-orang di perkotaan menghasilkan sampah dengan jumlah yang relatif meningkat dari tahun ke tahun. Di lain pihak jumlah penduduk juga terus bertambah. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global.

Lantas bagaimana tindakan kita dalam menghadapi permasalahan di atas? Hal yang perlu kita lakukan sebagai umat islam adalah Memelihara lingkungan. Karena disadari atau tidak, memelihara lingkungan itu merupakan :

1.        Bagian dari ibadah dan amal shaleh. Allah swt berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguuhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S An-Nahl : 97)

2.        Sama dengan menjaga agama. Lihat (An-Nahl :90, Al-Zumar : 10, Al-A’raf : 56, Al-Qashas : 83)
3.        Sama dengan menjaga jiwa. Lihat (Al-Maidah : 32, An-Nisa : 29)
4.        Sama dengan menjaga keturunan.
5.        Sama dengan menjaga akal.
6.        Sama dengan menjaga harta. Lihat (An-Nisa : 5)
Sekian, semoga Allah swt memeberikan bimbingan, petunjuk, dan lindungannya kepada kita sekalian.
Wassalamu ‘alaikum  warahmatullaahi wabarakaatuh.




[1] Merupakan Mahasiswa KPI B semester IV, Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Aktif di komunitas menulis KPI (Exellentbee)

Halaman

Statistik

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Pengikut

Tertarik ?? Klik iklan di bawah ini !!!!

Popular Posts

Copyright © / Tulis apapun, panen kapanpun !

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger