Sekarang ini, pemberitaan mengenai
korupsi di media massa sangatlah kencang.
Rupanya, bumi Indonesia ini wajahnya telah diwarnai oleh budaya korupsi.
Setiap hari, topik korupsi seolah menjadi bahasan utama dalam pemberitaan di
media massa. Terbersit dalam benak kita sebuah pertanyaan, apakah dengan
gencarnya pemberitaan tentang korupsi melalui media massa akan memberi pengaruh
angin segar dalam pemberantasan korupsi yang sangat merugikan bangsa Indonesia
ini? Efektifkah peran media massa dalam memberantas korupsi? Pro dan kontra
mewarnai jawaban atas pertanyaan tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa media massa
cukup efektif dalam memberantas korupsi, tetapi, ada pula yang berpendapat
sebaliknya. Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginan kebutuhan
informasi melalui medianya baik melalui media cetak maupun media elektronik
seperti, radio, televisi, internet. Fungsi informatif yaitu memberikan
informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur. Pers
akan memberitakan kejadian-kejadian pada hari tertentu, memberitakan
pertemuan-pertemuan yang diadakan, atau pers mungkin juga memperingatkan orang
banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi.
Media mempunyai fungsi pengawasan (surveillance),
penyediaan informasi tentang lingkungan.Fungsi penghubungan (correlation),
dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.Fungsi
pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.Fungsi
hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang
mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan
daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright
juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).
Peran penting media massa di bidang
pencegahan korupsi, antara lain, diwujudkan dalam bentuk memberi informasi
kepada masyarakat tentang makna korupsi. Tujuannya, agar masyarakat mengetahui
perbuatan yang termasuk korupsi dan tidak termasuk korupsi. Melalui pemberitaan
media massa, masyarakat menjadi tahu bahwa kepala daerah yang menerima
pendapatan di luar gaji secara tidak legal berarti melakukan korupsi. Media
massa pendorong terwujudnya good governance (pemerintahan yang baik). Media
sebagai salah satu sumber informasi publik diharapkan bisa menjadi alat untuk
mendorong berjalannya ketiga prinsip good governance (prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi).
Harus diakui, melalui media lah ,
serangkaian peristiwa, opini, dan realitas dapat disajikan dalam bentuk
informasi kepada masyarakat. Dengan menyajikan berita-berita aktual dari
berbagai isu yang berkaitan dengan praktek-praktek korupsi, hukum, politik dan
seterusnya, menunjukkan bahwa sesungguhnya media memiliki kontribusi yang
esensial dalam mendukung proses pembangunan demokrasi. Terlebih, saat ini kita
sedang berada dalam masa transisi demokrasi yang salah satu jalannya melalui
pembaruan tata pemerintahan. Karenanya, inilah saat yang tepat bagi media massa
untuk mendukung proses pembaruan tata pemerintahan yang baik melalui
berita-berita informatif, cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks kekinian, peran media massa
dituntut untuk mampu mengangkat berbagai berita korupsi di berbagai level pemerintahan
secara objektif. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Forum Kerja
Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyatakan bahwa saat ini korupsi adalah musuh
terbesar Indonesia selain terorisme. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi
media untuk tidak mendukung pemberantasan korupsi di tanah air melalui
pengungkapan dan liputan kasus-kasus korupsi. Misalnya untuk peliputan kasus
korupsi, peran media sangat relevan dengan apa yang tertuang dalam
Undang-undang Pers 40/1999. Dalam pasal 6 Undang-undang ini disebutkan bahwa
media harus bisa menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan
saran terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik.
Maka, sesuai dengan amanah UU Pers,
korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya sudah seharusnya menjadi
bidikan media massa. Di sisi lain, media juga dituntut memberikan pemberitaan
yang akurat, independen, dan kritis. Tiga unsur pemberitaan ini sesuai dengan
prinsip transparansi yang merupakan salah satu konsep good governace . Sehingga
jika tiga hal ini terpenuhi, maka tidak bisa diragukan bahwa media memberikan
kontribusi yang signifikan menyongsong pembaruan tata pemerintahan yang baik.
Namun sayangnya, masih banyak media yang
belum sepenuhnya independen dan objektif dari kepentingan tertentu (contoh:
pemiliknya). Banyak pemberitaan dalam media yang tidak objektif dan hanya
menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga berita yang disajikannya tidak
lagi jernih. Seringkali media justru dipakai sebagai alat pembenaran atas suatu
kasus tertentu. Inilah yang bisa mengakibatkan terjadinya salah pengertian
dalam masyarakat pembacanya. Sebab pembaca adalah merupakan konsumen yang
menikmati hasil produksi industri media secara langsung. Sedangkan media, bukan
hanya bisa berperan sebagai pemberi informasi, tetapi sebaliknya media juga
bisa melakukan hal-hal yang bersifat provokasi dan mempengaruhi opini
pembacanya. Jika hal ini terjadi, akan menjadi batu sandungan proses demokrasi.
Pendapat yang mengatakan bahwa peran
media massa kurang efektif dalam memberantas korupsi adalah dalam melawan
korupsi, misalnya, media di Indonesia masih sebagai pemandu sorak
(cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok
anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Media belum bisa menjadi
sopir yang berada di depan dan mengendalikan agenda, melainkan baru sebagai
penumpang yang duduk di belakang aksi anti korupsi. Artinya, wartawan tidak
menggali dan menyelidiki kasus korupsi sendiri, melainkan menunggu hasil
laporan paar penyelidik resmi atau partikelir. Ketimbang memburu dan mengungkap
koruptor, wartawan Indonesia hanya mengikuti mereka yang membongkar dan
menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Media di Indonesia, bukannya melakukan
investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi, melainkan baru pada tahap
reporting on investigation. Media-media di Indonesia masih sedikit sekali
menyediakan laporan mengenai korupsi, kolusi dan penyimpangan lain, yang
betul-betul merupakan hasil penyelidikannya sendiri. Memang ada satu dua
wartawan yang memiliki jiwa detektif seperti Bondan Winarno. Pemimpin Redaksi
Suara Pembaruan itu, misalnya, melakukan investigasi atas kematian Michael de
Guzman, seorang ahli eksplorasi perusahaan tambang minyak Bre-X, yang
dinyatakan bunuh diri tahun 1997 dengan melompat dari helicopter di Busang,
Kalimantan Timur.
Hasil investigasi Bondan menyimpulkan
bahwa De Guzman memalsukan kematiannya untuk meraup keuntungan dalam bisnis
saham perusahaan. Mayat “De Guzman” yang ditemukan di rawa adalah mayat orang
lain. Wartawan detektif macam Bondan masih langka di negeri ini, karena
investigative reporting yang bagus memang mahal. Pengumpulan data membutuhkan
waktu dan uang yang banyak. Meskipun mempunyai bagian rubrik investigasi yang
memproduksi laporan kritis bisa mendongkrak prestise sebuah koran, pihak
manajemen lebih mengutamakan investasi di bidang teknologi ketimbang alokasi
dana untuk investigative reporting.
Kurangnya sumber daya dan sumber dana
membuat wartawan Indonesia jarang sekali mendapatkan tugas untuk mengungkap
sebuah kasus dalam jangka waktu yang panjang. Mereka hanya menjalankan tugas
rutin pencarian berita sehari-hari yang tidak mendalam dan menanti datangnya
informasi bocoran dari sumber mengenai kasus besar yang bisa meledak di surat
kabar Peran media massa dalam upaya menghapus korupsi dari negeri ini dinilai
belum maksimal. Media kebanyakan hanya senang memberitakan peristiwa-peristiwa
penegakan hukum, seperti penangkapan pejabat atau mantan pejabat, tetapi tidak
mengeksplorasi aspek lain.
Berita tentang pencegahan korupsi secara
sistemik pun jarang dilirik karena dinilai tak menarik. Bagir mengungkapkan, media massa selalu
bicara tentang aspek proses hukum atau legal process. Padahal, dalam dunia
hukum sudah diketahui bahwa proses hukum tidak efektif lagi untuk meniadakan
tindak pidana korupsi. Media terkadang juga mempersempit penegakan hukum hanya
pada peradilan.
Padahal, korupsi tidak terjadi di sektor
ini saja, tetapi dapat juga ditemui di ranah administratif, seperti di kantor
imigrasi atau pemasyarakatan. Persoalan itu juga terjadi dalam pembuatan
hukum/undang-undang dan birokrasi.
Teristimewa dalam kasus bank Century, ketika kasus ini mulai ditangani
oleh aparat penegak hukum, media tetap memiliki peran penting untuk mengawalnya
sehingga masyarakat bisa memahami siapa yang sebenarnya berada di balik kasus
ini. Hal ini tentu saja sejalan dengan
ketentuan dalam UU nomer 40 Tahun 1999 tentang pers, bab II, pasal 3 ayat 1
yang menyatakan bahwa Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, dan kontrol sosial.
Dengan pemberitaan yang cukup gencar
terhadap kasus-kasus korupsi, diharapkan selanjutnya akan membuat para koruptor
kapok untuk menjalankan aksinya lagi. Dengan begitu pula, kontrol masyarakat bisa berjalan secara efektif.
Sebab tanpa adanya kontrol penuh dari masyarakat, penanganan korupsi di negeri
ini tak mungkin akan bisa berjalan secara tuntas. Sebaliknya, masyarakat tak
akan bisa melakukan kontrol apabila tidak mendapatkan informasi yang akurat dan
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Harun Yahya, Peran Media Massa
Dalam Memberantas Korupsi Sheila Coronel, Investigating Estrada, PCIJ, 2000.
Septiawan Santana, Jurnalisme
Investigasi, Yayasan Obor Indonesia, 2003.
T. Yulianti, Media dan Kampanye
Anti-Korupsi, Suara Pembaruan 17-12-2003.
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id